Sejarah Berdirinya

PPSQ Asy-Syadzili 1

PPSQ Asy-Syadzili
Ihwal pendirian PPSQ Asy-Syadzili Pakis, kabupaten Malang, diawali Setelah Haji Marzuqi sang mertua memberikan sepetak lahan disekitar daerah Sumberpasir, yang kemudian oleh Yai Syadzili didirikan sebuah pesantren dengan nama Pondok Pesantren Tarbiyah Tahfidzul Quran (PPTQ) sebelum kemudian berganti nama menjadi PPSQ Asy-Syadzili.

Pada awalnya tidak ada santri yang menetap, sekitar tahun 1960-an terjadi kejadian aneh, tanpa alasan yang jelas beliau membubarkan para santri, kemudian beliau merintis kembali pendidikan agama yang telah dibubarkan tersebut, setelah di rintis kembali maka masuklah santri dari luar, dan santri pertama yang menjadi cikal bakal menetapnya santri sampai saat ini adalah Almaghfurlah KH. Maftuh Said, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwariyyah, Sudimoro, Bululawang. Saat itu Bersamaan dengan seorang santri putri bernama Maftuhah dari Gresik, kedua santri tersebut tidak menetap di asrama melainkan menetap di ndalem (rumah) mertua Yai Syadzili, sebab pada waktu itu beliau belum memiliki asrama sebagai tempat tinggal untuk santrinya. Pada tahun 1970 sudah banyak santri yang datang untuk nyantri (menetap), tetapi karena keterbatasan tempat dan fasilitas maka mereka belum bisa diterima hingga akhirnya pada tahun 1975 dibangunlah sebuah asrama kecil di atas tanah waqaf masjid yang berkapasitas 15 orang.

Ketika tahun 1980-an ada seorang dermawan yang membeli rumah keluarga Ibu Nyai (Hj. Rahmah Marzuqi) untuk diwaqofkan kepondok, dermawan tersebut ialah H. Jainal Abidin, dan rumah tersebut langsung difungsikan sebagai tempat tinggal para santri. Karena keterbatasan tempat, maka pada waktu itu Yai Syadzili membatasi jumlah santrinya sebanyak 40 orang dan pada saat itu juga pendidikan masih terfokus pada tahfidzul Qur'an saja. Sebenarnya banyak pihak-pihak yang ingin membangun pondok, tapi Yai Syadzili belum berkenan untuk membangunnya. Hingga pada Tahun 1991, tepatnya 14 hari sebelum Yai Syadzili wafat, beliau berwasiat kepada Ibu Nyai dan putra-putrinya, agar mengijinkan siapa saja yang berkeinginan membangun pondok,

Dari keunikan inilah sampai timbul guyonan “Lah pondok sudah ditinggal kiainya, kok baru dibangun.” Itulah sosok Yai Syadzili yang tak terlalu mementingkan kepentingan dunia. Dalam kesempatan lain beliau juga berwasiat kepada salah seorang putranya “Ikhtiar iku hukume wajib lan ikhtiarku berobat wes cukup, awakmu kudu iso sabar lan terusno lek golek elmu” (ikhtiar itu hukumnya wajib dan ikhtiarku berobat sudah cukup, kamu harus bisa bersabar dan lanjutkanlah kalau mencari ilmu).

PPSQ Asy-Syadzili

Pola asuh Yai Syadzili kepada anak-anaknya dan kepada santi-santrinya memang beda, tapi tujuannya sama. Yakni bagaimana agar mereka menjadi hamba Allah yang berilmu, yang mana dengan ilmu tersebut bisa digunakan untuk kemaslahatan dirinya maupun seluruh ummat. Kalau terhadap anak-anaknya, Yai Syadzili menampilkan figur bapak yang lembut, kalau pada santrinya, beliau sangat tegas. Yai Syadzili betul-betul amanah dalam membimbing para santri sesuai dengan amanat para orang tua santri.

Yai Syadzili tidak mau mengecewakan wali santri yang sudah titip kepada beliau. Hal ini sangat dirasakan oleh beberapa santri yang dulu pernah ngaji kepada beliau seperti Kyai Maftuh (Bululawang), Kyai Khusaini (Malang), Kyai Nur Kholis (Malang), Kyai Nur Salam. Beliau adalah guru yang menganut sistem tradisional yang keras dan tegas.

Beliau tidak segan-segan memukul santrinya yang tambeng alias nakal dan malas. Hal ini dilakukan karena beliau sangat sayang kepada santrinya. Beliau ingin melihat santrinya berhasil dalam tholabul ‘ilmi (menuntut ilmu) dan pulang dengan membawa ilmu yang bermanfaat. Kenyataan, para santri yang pernah menimba ilmu kepada beliau rata-rata setelah pulang berhasil menjadi ulama besar.

Meski dalam urusan mendidik santri, Yai Syadzili begitu disiplin dan keras, namun dalam urusan kebutuhan jasmani, Yai Syadzili seringkali mendahulukan para santrinya daripada anak-anaknya. “Kalau ada makanan di rumah, seringkali abah menyuruh untuk memberikan dulu kepada para santri. Putra dan putri beliau diajak untuk hidup prihatin.” kenang Gus Mun’im, putra beliau yang kini diamanahi umtuk melanjutkan tongkat estafet dakwah Yai Syadzili sebagai pengasuh pondok pesantren.