Semenanjung Arab waktu itu masih berupa padang pasir yang gersang. Gurun-gurun di waktu siang panasnya kelewat batas ditambah anginnya yang begitu kencang, sedang ketika malam hawa dingin terus mendera, ditambah lagi langkanya air menambah kesengsaraan. Akan tetapi tanah inilah yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagai latar dari pertunjukan yang sangat spektakuler.
Dari kejauhan terlihat dua unta berjalan mendekat. Terlihat Sang Abul Anbiya’ Sayyidina Ibrahim AS. bersama istri keduanya Sayyidatina Hajar menggendong putranya yang masih bayi bernama Ismail. Mereka berangkat dari tanah Palestina setelah Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk mengungsikan Hajar dan putranya ke tanah Arab. Siapa yang tega meninggalkan istri dan anaknya yang masih bayi di tengah gurun pasir yang tandus dan segala kesengsaraannya? Akan tetapi, karena tingginya ketaatan Nabi Ibrahim kepada tuhannya, maka hal ini tetap dilakukan.
Keajaiban-keajaiban dialami oleh Hajar dan Ismail. Ketika itu Hajar panik berlari dari Bukit Shofa ke Bukit Marwah mencari mata air untuk menghilangkan dahaga Ismail dan dirinya. Sedangkan Ismail menangis sambil menghentakkan kakinya ke bumi. Dengan kuasa Allah, tiba-tiba dari hentakan bayi Ismail terpancar mata air yang sekarang bernama Zam-Zam. Jangankan kematian, haus dan lapar tak sedikit pun menghampiri mereka karena adanya mata air ini, sehingga dengan perlahan Suku Baduy jurhum mulai tinggal di sana.
Nabi Ibrahim sewaktu-waktu menjenguk keluarganya, suatu ketika dia menyampaikan mimpinya kepada Ismail yang masih belia “…, Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Apa jawaban Ismail? Dalam surah dan ayat yang sama Allah mengabadikan dalam Al-Quran, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”
Sejak kecil Allah menuntun Ismail dalam pemahaman aqidah Nabi Ibrahim, sehingga memahamkannya bahwa cinta makhluk kepada Sang Khalik harus melebihi cinta ayah pada anaknya, cinta suami pada istrinya, begitu pula cinta anak pada kedua orang tuanya. Karena sebesar-besarnya cinta kita kepada makhluk, tak akan pernah mampu menandingi sang pemilik cinta, Allah SWT.
Akhirnya hal tersebut dilakukan, tubuh Ismail direbahkan di tanah, wajahnya dihadapkan ke tanah karena Ibrahim tak tega melihat anak semata wayangnya disembelih oleh tangannya sendiri. Tatkala Ibrahim mengayunkan tangannya yang memegang pedang, untuk segera melaksanakan perintah tuhannya. Allah menebus pengorbanan mereka dengan menggantikan Ismail dengan seekor kambing besar.
Ritual ini diabadikan Allah dengan ayat, “Tatkala keduanya telah berserah diri…” Seperti inilah makna Islam yang sebenarnya. Menyerahkan semua yang dimiliki hingga tak tersisa dalam diri, termasuk yang paling dicintai. Maka hari itu dijadikan sebagai hari raya bagi orang Islam, hari raya yang mengingatkan kejadian besar sebuah hakikat kepasrahan yang dipersembahkan Ibrahim dan Putranya kepada Allah SWT.